Beranda | Artikel
Shalat Sunnah Rawâtib Subuh
Sabtu, 3 Oktober 2020

SHALAT SUNNAH RAWATIB SUBUH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Pada edisi terdahulu kami telah menjelaskan shalat Sunnah Rawâtib, yang pelaksaannya sangat dianjurkan. Karena Sunnah Rawâtib itu sebagai pelengkap shalat fardhu lima waktu secara umum.

Untuk mengetahui kedudukan dan jenis-jenis shalat Rawâtib, kami mencoba untuk membahasnya secara menyeluruh meskipun singkat, insya Allah.

Berikut kami mulai dengan pembahasan seputar shalat Rawâtib Subuh.

Hukum Shalat Rawatib Subuh
Shalat sunnah Rawâtib Subuh termasuk shalat sunnah yang paling ditekankan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukannya dan tidak meninggalkannya, baik saat bepergian ataupun tidak.

Di antara dalil yang menunjukkannya, yaitu hadits Abu Maryam yang berbunyi:

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَسْرَيْنَا لَيْلَةً فَلَمَّا كَانَ فِي وَجْهِ الصُّبْحِ نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَامَ وَنَامَ النَّاسُ فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا بِالشَّمْسِ قَدْ طَلَعَتْ عَلَيْنَا فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ ثُمَّ صَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ

Kami dahulu pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, lalu kami berjalan saat malam hari. Ketika menjelang waktu Subuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan tidur, dan orang-orang pun ikut tidur. Beliau tidak bangun kecuali matahari telah terbit. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan muadzin (untuk beradzan), lalu ia pun mengumandangkan adzan. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka`at sebelum shalat Subuh, kemudian memerintahkan sang muadzin beriqamah, lalu beliau mengimami orang-orang (shalat Subuh).[1]

Demikian juga Imam al-Bukhâri telah menyebutkan dalam kitabnya:

بَاب مَنْ تَطَوَّعَ فِي السَّفَرِ فِي غَيْرِ دُبُرِ الصَّلَوَاتِ وَقَبْلَهَا وَرَكَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي السَّفَرِ

Bab orang yang melakukan shalat tathawu’ (sunnah) dalam perjalanan pada selain waktu sesudah dan sebelum shalat fardhu (Rawâtib), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat al-Fajr dalam safarnya (bepergiannya).[2]

Ibnul-Qayyim berkata,”Di antara petunjuk yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya, yaitu (beliau) mencukupkan diri dengan melaksanakan shalat yang fardhu, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui melakukan shalat Sunnah Rawâtib sebelum dan sesudah shalat fardhu kecuali shalat witir dan Sunnah Rawâtib Subuh, karena beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat itu, baik saat muqîm (tidak sedang bepergian)  maupun saat bepergian”.[3]

Hal ini, juga sebagaimana nampak pada pernyataan ‘Aisyah yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّه عَنْهُمَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ أخرجه الشيخان

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat Sunnah yang dilakukan secara terus-menerus melebihi dua rakaat (shalat Rawatib) Subuh”.[4]

Sehingga Ibnul-Qayyim pun berkata, “Kesinambungan dan penjagaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sunnah Rawâtib Subuh melebihi seluruh shalat sunnah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan sunnah Rawâtib Subuh dan shalat Witir dalam safarnya maupun saat muqîm. Dalam safar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa disiplin melaksanakan sunah Rawâtib Subuh dan Witir melebihi seluruh shalat-shalat sunnah dan Rawâtib lainnya. Tidak ada dinukilkan dari beliau dalam safarnya melakukan shalat Rawâtib selain Rawâtib Subuh. Oleh karena itu, dahulu Ibnu ‘Umar tidak menambah dari dua raka’at, dan ia berkata,‘Saya telah bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakar dan ‘Umar. Mereka semua dalam safarnya tidak melebihi dua raka’at’.”[5]

Dengan demikian jelaslah, bahwasanya hukum sunnah Rawâtib Subuh adalah sunnah muakkadad, dan termasuk Rawâtib yang sangat dianjurkan.

Keutamaan Shalat Rawatib Subuh
Keutamaan shalat Sunnah Rawâtib Subuh, secara umum dapat dilihat dalam hadits-hadits tentang keutamaan shalat Sunnah Rawâtib, namun ada juga beberapa hadits yang secara khusus menunjukkan keutamaan shalat Rawâtib Subuh ini. Di antaranya:

1. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. أخرجه مسلم.

Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,”Dua raka’at fajar (Subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya.” [6]

2. Hadits ‘Aisyah Radhyallahu anhuma lainnya yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّه عَنْهُمَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ أخرجه الشيخان

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat Sunnah yang dilakukan secara terus-menerus melebihi dua raka’at (shalat Rawâtib) Subuh”.[7]

Dalam dua hadits di atas, nampak adanya pernyataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang secara langsung menunjukkan keutamaan shalat Rawâtib ini.

3. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّه عَنْهُمَا  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ أخرجه البخاري

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, sesungguhnya dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka’at sebelum Zhuhur dan dua rakaat sebelum Subuh.[8]

Tata Cara Shalat Rawatib Subuh
1. Shalat Rawâtib Subuh dua raka’at, dilakukan sebelum shalat fardhu Subuh sebagaimana shalat dua rakaat lainnya dengan satu salam.

2. Shalat Rawâtib Subuh dilakukan dengan meringankannya/agak cepat.

Di antara petunjuk dan contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan dua raka’at Rawâtib Subuh, ialah dengan meringankannya, tidak memanjangkan bacaannya, dan dengan syarat tidak melanggar hal-hal yang wajib dalam shalat.

Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits berikut ini.

  • Hadits Ummul-Mukminin Hafshah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ حَفْصَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ الْأَذَانِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ أخرجه الشيخان

Dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata, bahwasanya Hafshah Ummul-Mukminin telah menceritakan kepadanya, sesungguhnya dahulu, bila muadzin selesai dari mengumandangkan adzan shalat Subuh dan waktu Subuh sudah nampak, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka’at yang ringan sebelum iqamat shalat.[9]

  • Hadits Ummul-Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ

Dari ‘Aisyah, beliau berkata: “Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka’at yang ringan antara adzan dan iqamat shalat Subuh”.[10]

  • Demikian juga beliau Radhiyallahu anhuma menjelaskan ringannya shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disini dengan perkataanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتىَّ إِنِّيْ لأَقُوْلُ : هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ؟”. أخرجه الشيخان

Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan dua raka’at yang ada sebelum shalat fardhu Subuh, hingga aku bertanya: “Apakah beliau membaca al-Fatihah?[11]

Hadits-hadits di atas menunjukkan sunnahnya memperingan shalat dua raka’at sebelum shalat fardhu Subuh.[12]

3. Bacaan setelah membaca surat al-Fatihah.
Sebagian orang berdalih dengan riwayat ‘Aisyah di atas, yang menunjukkan tidak disunnahkannya membaca surat atau ayat setelah al-Fatihah. Anggapan ini tidak benar, karena adanya beberapa riwayat yang menjelaskan bacaan surat atau ayat setelah membaca al-Fatihah dalam shalat dua raka’at sebelum shalat fardhu Subuh ini. Berikut beberapa hadits yang menunjukkan adanya bacaan ayat sesudah membaca al-Fatihah.

  • Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَرَأَ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat al-Kâfirûn dan al- Ikhlâsh dalam dua raka’at al-Fajr (dua raka’at Rawâtib Subuh).[13]

  • Hadits Ibnu ‘Abbas yang berbunyi:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الْآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Dari Sa’id bin Yasaar, bahwasanya Ibnu ‘Abbas mengabarkan kepadanya, sesungguhnya dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam dua raka’at al-Fajr; pada rakaat pertama membaca ayat:

 قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا  yang terdapat dalam al-Baqarah/2 (ayat 136), dan pada raka’at kedua  آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ  (Ali ‘Imran/3 ayat 52).[14]

  • Hadits Ibnu Abas yang berbunyi:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam dua raka’at al-Fajr firman Allah:  قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا  (al-Baqarah/2 ayat 136),

dan yang terdapat dalam Ali ‘Imran/3 (ayat 64): (تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ).[15]

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Sunnah (Rawâtib) Subuh diberlakukan sebagai awal perbuatan dan witir sebagai penutupnya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Sunnah (Rawâtib) Subuh dan witir dengan membaca surat al-Kaafirun dan al-Ikhlas. Kedua surat ini mengandung tauhid al-Ilmi wal-‘Amal (tauhid Rububiyah), tauhid al-Ma’rifah (tauhid al-Asma wash-Shifat) dan tauhid al-I’tiqaad wal-Qashdu (tauhid al-Uluhiyah)”.[16]

4. Berbaring Setelah Shalat Rawatib Subuh.
Di antara yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu setelah shalat Rawatib Subuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring miring di atas bagian kanan tubuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَي الْفَجْرِ، فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى شَقِّهِ الأَيْمَنِ. أخرجه الترمذي.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang kalian mengerjakan dua rak’at al-Fajr, maka berbaringlah miring di atas bagian kanannya”.[17]

Dalam masalah berbaring ini, terdapat perbedaan pandangan dikalangan para ulama. Mereka  terbagi dalam enam pendapat.[18]

a. Berbaring ini disyari’atkan secara sunnah.
Demikian ini pendapat Abu Musa al-Asy’ari, Râfi’ bin Khadîj, Anas bin Mâlik, Abu Hurairah, Muhammad bin Sirîn, Sa’id bin al-Musayyib, al-Qâsim bin Muhammad bin Abu Bakar, ‘Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdur-Rahman bin ‘Auf, Khârijah bin Zaid bin Tsâbit, ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, Sulaiman bin Yasâr, dan begitu pula di kalangan madzhab Syâfi’i dan Hambali. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah tersebut, dan membawa makna perintah dalam riwayat tersebut kepada sunnah (istihbab) dengan didukung hadits ‘Aisyah yang berbunyi :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  كَانَ إِذَا صَلَّى سُنَّةَ الْفَجْرِ ، فَإِنْ كُنْتُ مُسْتَيْقِظَةً ؛ حَدَّثَنِيْ ، وَ إِلاَّ ؛ اضْطَجَعَ حَتىَّ يُؤَذَّنَ بِالصَّلاَةِ. أخرجه البخاري

Sesungguhnya dahulu, jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai melakukan shalat sunnah Subuh, apabila aku terjaga (tidak tidur-red) maka beliau mengajakku berbicara, dan bila (aku) tidak (sedang terjaga) maka beliau berbaring hingga shalat diiqamati.[19]

Dalam hadits ini dapat diketahui bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbaring apabila ‘Aisyah telah bangun, sehingga hadits ini bisa merubah makna perintah yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari bermakna wajib berubah menjadi sunnah. Demikian juga, hadits ‘Aisyah ini menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang tidak berbaring setelah melakukan Rawâtib Subuh. Seandainya wajib, tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan meninggalkannya.

b. Berbaring itu wajib dan harus dilakukan, bahkan beranggapan berbaring itu sebagai syarat sah shalat Subuh.
Inilah pendapat Abu Muhammad bin Hazm. Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu diatas yang berisi perintah dan sifat perintah menunjukkan makna wajib.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah mengomentari pendapat Ibnu Hazm ini. Syaikhul-Islam berkata : “Ini merupakan pendapat beliau seorang diri yang menyelisihi umat”.[20]

c. Makruh dan bid’ah.
Ini pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar sebagaimana terdapat dalam satu riwayat, dan al-Aswad bin Yazîd, serta Ibrahim am-Nakhâ-i. Mereka berdalil, bahwa berbaring itu tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Seandainya pernah dilakukan, tentu akan dinukil secara mutawâtir.

d. Menyelisihi yang lebih utama.
Demikian yang riwayat yang datang dari al-Hasan al-Bashri.

e. Berbaring ini disunnahkan bagi yang telah melakukan shalat malam pada hari itu, agar ia dapat beristirahat, dan tidak disyari’atkan pada selainnya.

Demikian yang dirajihkan Ibnul-‘Arabi dan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, juha Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.

Syaikh al-‘Utsaimin berkata,”Pendapat yang râjih dalam masalah ini, ialah yang dirâjihkan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Yaitu yang dirinci, sehingga menjadi sunnah bagi orang yang menegakkan malamnya, karena ia membutuhkan istirahat. Namun, bila termasuk orang yang bila berbaring di tanah dapat tidur dan tidak bangun kecuali setelah waktu yang lama, maka ini tidak disunnahkan baginya, karena dapat menyebabkannya meninggalkan kewajiban”.[21]

f. Berbaring bukanlah inti yang dimaksud. Akan tetapi, yang dimaksud ialah memisahkan antara shalat Rawâtib dengan shalat Fardhu.

Demikian yang diriwayatkan dari pendapat asy-Syâfi’i. Tetapi, pendapat ini terlalu lemah, sebab pemisahan waktu dapat dilakukan dengan selain berbaring.

Menurut penulis, dari keenam pendapat di atas, yang rajih ialah yang dirajihkan oleh Imam an-Nawawi, sebagaimana beliau rahimahullah telah berkata: “Yang terpilih adalah berbaring dengan dasar zhahir hadits Abu Hurairah”.[22]

Demikian juga keumuman hadits ini mencakup umat Islam, apalagi didukung dengan keabsahan hadits Abu Hurairah sebagaimana dinilai shahih oleh Imam asy-Syaukani, dan juga Syaikh al-Albâni.

Jika Seseorang Tidak Sempat Shalat Rawatib Subuh Pada Waktunya
Jika keadaanya seperti di atas, maka disyari’atkan bagi yang tidak sempat melakukan shalat Rawâtib qabliyah Subuh, untuk melaksanakannya setelah selesai shalat fardhu Subuh, atau setelah terbit matahari.

Hal ini didasarkan kepada dalil berikut ini.
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِي اللّه عَنْهُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  :” مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ؛ فَلْيُصَلِّهُمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ”. أخرجه الترمذي.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barang siapa yang belum shalat dua rakaat qabliyah Subuh maka hendaknya melakukannya setelah terbit matahari”.[23]

Perintah dalam hadits ini dialihkan maknanya kepada makna istihbaab dengan hadits lainnya yang berbunyi:

عَنْ قَيْسِ بْنِ قَهْدٍ رَضِي اللّه عَنْهُ ؛ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّبْحَ ، وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، فَلَمَّا سَلَّمَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ سَلَّمَ مَعَهُ ، ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَنْظُرُ إِلَيْهِ ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيْهِ “. أخرجه الترمذي

Dari Qais bin Qah-din Radhiyallahu anhu, sesungguhnya ia shalat Subuh bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belum melakukan shalat dua raka’at qabliyah Subuh. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah salam maka iapun salam bersama beliau, kemudian ia bangkit dan melakukan shalat dua rakaat qabliyah Subuh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dan tidak mengingkarinya.[24]

Jelas hadits ini menunjukkan boleh mengqadha dua raka’at qabliyah Subuh setelah shalat fardhu.

Demikian beberapa hukum seputar shalat Rawâtib Subuh. Mudah-mudahan bermanfaat.

Washalallahu ‘ala Nabiyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XI/1428/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] HR an-Nasâ-i, kitab al-Mawaqif, Bab: Kaifa Yaqdhi al-Fâit minash-Shalat, no. 605. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan an-Nasâ-i. Syaikh berkata,”Shahîh dengan hadits Abu Hurairah berikutnya, dan selainnya.”
[2] Shahîh dalam kitab al-Jum’at
[3] Zâdul-Ma’ad (1/456).
[4] HR al-Bukhari dan Muslim. (Akan datang takhrijnya).
[5] Zâdul-Ma’ad (1/305).
[6] HR Muslim, kitab Shalatil Musâfirin wa Qashriha, Bab: Istihbâb Rak’atai Sunnatil-Fajr wal-Hatstsu ‘alaihima wa Takhfîfuhuma ‘alaihima wa Bayân mâ Yustahab ‘an Yaqra`a fîhima, no. 725.
[7] HR al-Bukhari, kitab Tahajjud, Bab: Ta`âhud Rak’atai al-Fajri waman Sammâha Tathawwu’an, no. 1169: Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak’atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu ‘alaihima wa Takhfîfuhuma ‘alaihima wa Bayân maa Yustahab ‘an Yaqra`a fî hima, no. 724.
[8] HR al-Bukhari, kitab al-Tahajjud, Bab: ar-Rak’atain Qabla Dzuhur, no. 1182.
[9] HR al-Bukhâri, kitab al-Adzân, Bab: al-Adzân ba’dal-Fajr, no. 618.  Muslim, kitab Shalatil-Musâfirîn wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak’atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu ‘alaihima wa Takhfîfuhuma ‘alaihima wa Bayân mâ Yustahab ‘an Yaqra`a fî hima, no. 723.
[10] HR al-Bukhari, kitab al-Adzan, Bab: al-Adzan ba’dal-Fajr, no 584.
[11] HR al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, Bab: Mâ Yaqra’ fî Rak’atai al-Fajr, no. 1171.  Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak’atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu ‘alaihima wa Takhfîfuhuma ‘alaihima wa Bayân mâ Yustahab ‘an Yaqra`a fî hima, no. 724. Lafadz ini milik al-Bukhari.
[12] Lihat Shahîh Fiqhus-Sunnah (1/373).
[13] HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak’atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu ‘alaihima wa Takhfîfuhuma ‘alaihima wa Bayân mâ Yustahab ‘an Yaqra`a fî hima, no. 726.
[14] Ibid., no. 727.
[15] Ibid., no. 728.
[16] Lihat Ibnul-Qayyim dalam Zâdul-Ma’ad (1/306). Kemudian Ibnul-Qayyim menjelaskan hikmah yang terkandung dalam dua surat tersebut.
[17] HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Ja`a fil-Idh-thijâ` ba’da Rak’atai al-Fajri, no. 420. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh Sunan Abu Dawud no. 1146.
[18] Pembahasan ini diambil dari beberapa marâji`, di antaranya: Syarhul-Mumti’ ‘ala Zâdul-Mustaqni’ karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin, Nailul-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbâr karya asy-Syaukani, Zâdul-Ma’ad karya Ibnul-Qayyim dan Shahih Fiqhus-Sunnah karya Abu Malik.
[19] HR al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, Bab: Man Tahadatsa ba’da ar-Rak’atain wa Lam Yadh-thaji’ no. 1161.
[20] Pernyataan ini dinukil langsung oleh Ibnul-Qayyim dari beliau. Lihat Zâdul-Ma’ad (1/308).
[21] Syarhul-Mumti’ (4/100).
[22] Dinukil dari Nailul-Authar (3/25).
[23] HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Ja`a fî I’âdatihima ba’da Thulu’usy-Syamsi, no. 424, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi (1/133).
[24] HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab Maa Ja`a fî man Tafututhu ar-Rakâtân Qablal-Fajr Yushalihuma ba’da Shalat ash-Shubhu no. 422, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi (1/133).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/23482-shalat-sunnah-rawatib-subuh-2.html